PEMANFAATAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF

Jumat, 16 Mei 2008

Krisis energi yang dihadapi dunia, maupun Indonesia khususnya semakin berat dirasakan. Harga minyak yang mencapai $US 130-an per barrel pada pertengahan tahun 2008 ini, memperberat beban anggaran pemerintah dan maupun kebutuhan hidup masyarakat yang semakin mahal. Karena sebagian besar produk-produk kita masih impor dan cadangan minyak bumi kita semakin berkurang. Semua ini memang akibat ketergantungan kita terhadap bahan bakar fossil pada sebagian besar pembangkit listrik maupun bahan bakar kendaraan bermotor.

Diversifikasi energi dan konservasi energi adalah salah satu jalan untuk keluar dari krisis energi ini. Diversifikasi akan mengurangi ketergantungan akan minyak yang harga semakin membumbung sedangkan cadangannya semakin menipis. Dilain pihak, penggunaan energi juga harus bijaksana. Konservasi energi diperlukan untuk menghemat energi yang kita punya saat ini. perilaku boros energi di masyarakat harus diubah menjadi budaya hemat energi. Tentunya harus dipahami secara benar, hemat energi tidak berarti mengurangi fungsi dari pemakaian energi tersebut, tetapi hemat energi berarti meningkatkan efisiensi dalam penggunaannya. Ini tidak mudah dan butuh kerja keras dan kerja sama semua stakeholder karena pelaksanaan konservasi energi berkaitan erat dengan perubahan budaya masyarakat.

Kekayaan alam yang berlimpah, belum optimal dimanfaatkan sampai saat ini. Letak geografis Indonesia di sepanjang garis khatulistiwa membawa berkah berlimpah akan sinar surya. Dari surya, kita bisa memanen energi panas maupun mengubah cahayanya menjadi listrik melalui teknologi photovoltaic. Topografi yang bergunung-gunung dan hutan yang banyak memungkinkan beberapa daerah memiliki potensi sumber air yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan listrik, baik skala kecil maupun besar.

Tanah yang subur sangat mendukung bagi pertanian dan peternakan, yang keduanya merupakan sumber biomassa (khususnya limbah) untuk diolah lebih lanjut menjadi biogas melalui proses biokimia maupun gasifikasi. Belum lagi potensi sumber daya hayati kita yang berlimpah. Kita kaya akan tanaman penghasil minyak yang potensial diolah menjadi biodiesel. Kita juga kaya akan sumber daya hayati penghasil gula atau pati-patian yang sangat potensial sebagai bahan baku bioetanol.Laut yang terbentang luas juga merupakan potensi energi yang luar biasa. Dari laut bisa dimanfaatkkan energi gelombang, energi pasang surut, energi arus laut, energi perbedaan suhu permukaan dan laut kedalaman ataupun memaanfaatkan ruang di permukaan laut untuk memanen angin dan limpahan cahaya matahari.

Secara geologis, letak Indonesia juga sangat menguntungkan. Indonesia berada pada lingkar api dunia atau "ring of fire" sehingga menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan potensi panas bumi terbesar dunia.Pemanfaatan berbagai potensi tersebut memerlukan sinergi antar stakeholder energi terbarukan. Kebijakan, penelitian, dana dan pemanfaatannya harus terkoordinasi dengan baik sehingga tercipta sinergi. Potensi energi terbarukan sampai saat ini belum berkembang dengan baik karena antara lain kendala harga energi yang dihasilkannya masih kurang layak secara ekonomis. Namun, jika Pemerintah sebagai pengambil keputusan dan kebijakan didukung oleh swasta sebagai pengembang dan penyandang dana, serta masyarakat yang peduli akan penggunaan energi terbarukan, bukan tidak mungkin skala ekonomis dari energi terbarukan akan tercapai sehingga dapat bersaing dengan energi konvensional.

Read More..

BUDAYA TOLERANSI PADA MASYARAKAT PLURALIS

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa atau Etnis, agama, dan warna kulit. Sehingga tidak salah rasanya ada istilah Bhineka Tunggal Ika 'berbeda-beda namun tetap satu' menjadi semboyan kita, memang ada wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya dan adapula yang minoritas. Dengan kondisi yang ada semua masyarakat sebenarnya mendambakan kehidupan yang damai dan saling menghormati satu sama yang lain, namun sering kali ada percecokan antar pribadi yang akhirnya melibatkan komunitas banyak. Seperti halnya yang terjadi di Kalimantan Barat beberapa tahun yang lalu.

Sekarang inipun provinsi Kalimantan Barat sedang berada dalam situasi yang disebut dengan Negative Peace/Perdamaian Negative. Tidak ada konflik kekerasan pecah namun indicator social ke arah pecahnya konflik cukup tinggi, keadaan ini diakibatkan oleh terbatasnya forum/event untuk berdialog dan mengklarifikasi persoalan atau perbedaan, disamping itu beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan kelompok masyarakat masih tersegregasi dalam kegiatannya dan lemahnya kepercayaan terhadap kelompok etnis lainnya.Beberapa analisis mengingatkan jika tidak terjadi peningkatan kualitas dialog dan saling pengertian, konflik baru akan tidak sulit untuk dipicu.

Selama 5 tahun terakhir ini juga, tindak kekerasan antar etnik cenderung meningkat. Walapun tidak menjadi konflik komunal, tetapi apabila tidak upaya-upaya penanganan yang serius dari para penegak hukum, tokoh masyarakat dan kesadaran masyarakat sendiri pada masing-masing etnik. Maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi kembali konflik komunal yang lebih besar.

Apa lagi Kalimantan Barat punya sejarah konflik antar etnis yang cukup intens di masa lalu dan paling tidak hingga saat ini sudah terjadi 9 kali konflik besar yang terjadi sejak tahun 1930; dengan kecenderungan kenaikan dari segi frekwensi, korban dan keluasan area konflik. Sehingga telah secara maya mensegregasi propinsi ini berdasarkan etnisitas dan konflik. Yang memprihatinkan adalah kaum perempuan dan anak-anak, mereka adalah pihak yang paling menderita akibat konflik maupun pasca konflik. Apalagi maraknya “penjualan perempuan dan anak-anak”, dan setelah ditelusuri kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga-keluarga korban kekerasan.

Awal semua ini memang tidak terlepas dari setting politik dan pola pembangunan yang sentralistik pada masa orde baru, tetapi di masa reformasipun hal ini tidak pernah disentuh oleh pemerintah. Pemerintah tetap saja dengan polanya yang sudah baku, bahkan cenderung membuat kebijakan yang semakin membuat masyarakat multi-etnik terpecah, misalnya kebijakan pemekaran wilayah yang menggunakan garis sejarah primordialisme kesukuan.Saat ini hubungan antar komunitas di beberapa kabupaten masih mengalami kemacetan. Kegiatan bersama antar komunitas yang pernah terjalin dulunya, baik di bidang budaya dan ekonomi sekarang ini tidak pernah terjadi lagi.

Kecurigaan antara satu pihak dengan pihak lainnya sepertinya dipelihara. Jembatan komunikasi bisa dikatakan macet. Ditambah lagi penangganan aset-aset korban konflik masih belum tuntas, bahkan terkesan ada permainan oleh pihak pemerintahan maupun masyarakat.Beberapa laporan dan analisis yang dilakukan oleh berbagai LSM dan Akademisi, memperlihatkan adanya kesamaan pola penyebab konflik. Mulai dari lemahnya mekanisme social untuk mengelola perbedaan kultur masyarakat, kompetisi social dan ekonomi yang keras.

Mekanisme penyelesaian persoalan antar komunitas yang tidak tertangani secara baik oleh aparat keamanan, kemudian mengabaikan system adat masyarakat dalam menyelesaikan persoalan yang ada. Sehingga masyarakat mengambil tindakan sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang ada untuk menegakkan ‘rasa keadilan’.

Kemudian menguatnya gejala fundamentalisme agama yang saat ini menjadi fenomena di seluruh penjuru dunia. Seperti yang dituturkan Karen Armstrong (2002), fenomena “fundamentalisme” keagamaan ini sungguh mengejutkan di akhir abad ke-20. Merebaknya terorisme global dan kejahatan kemanusiaan universal yang menggunakan ajaran agama sebagai “kedok” dan legitimasi tindakan-tindakan, mengakibatkan terjadinya fanatisme agama. Terjadi konflik yang berbasis agama di daerah lain juga berpengaruh di Kalimantan Barat, dimana ada berapa kali isu penyerangan tempat ibadat dengan alasan yang tidak masuk akal. Ditambah lagi para ketua-ketua atau tokoh-tokoh keagamaan tidak terlalu pengaruh bagi umatnya, sehingga apabila ada persoalan yang menyangkut keagamaan yang sepele sepertinya dapat dengan cepat menjadi konflik komunal.

Moment pemilihan kepala daerah secara langsung atau PILKADA saat ini, juga merupakan salah satu potensi konflik, karena pada saat itu seringkali para elit-elit politik cenderung memobilisasi symbol etnis dan agama untuk mendapatkan/memperkuat dukungan kepadanya.

Dengan kondisi yang ada, saya melihat perlu ada beberapa kegiatan besar yang perlu dilakukan, dalam rangka terciptanya kehidupan yang damai antar komunitas, diantaranya :
1. Membangun Agenda Perdamaian Berbasis Komunitas
2. Kegiatan Bersama Antar Komunitas Multi-etnis
3. Peningkatan Kapasitas Tokoh-tokoh Masyarakat
4. Penyediaan Media Penyadaran Partisipatif

Dengan adanya beberapa kegiatan kunci ini diharapkan adanya upaya-upaya rekonsiliasi berbasis komunitas multi etnik dan diharapkan dapat menyumbang pada pencegahan konflik secara dini (early warning system). Disamping itu dengan terbangunnya simpul-simpul jaringan multi etnis akan menyumbang terhadap pembangunan relasi etnik yang harmonis. Sehingga masyarakat dengan kearifan-kearifan lokal yang dimiliki mampu membangun mekanisme penyelesaian konflik (conflig resoution mechanism) dengan kesadaran yang mendalam dan saling memahami akan perbedaan yang ada namun tetap mempunyai persamaan mendasar dalam membangun kehidupan damai dan sejahtera.

Read More..

MAU DIBAWA KEMANA HUTAN KITA

Rabu, 23 April 2008

Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang.

Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.

Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat.

Penguasaan hutan oleh Negara bukan merupakan pemilikan, tetapi Negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Namun demikian untuk hal-hal tertentu yang sangat penting, berskala dan berdampak luas serta bernilai strategis, pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya dan manfaat ekonomi, pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dalam daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Sumberdaya hutan mempunyai peran penting dalam penyediaan bahan baku industri, sumber pendapatan, menciptakan lapangan dan kesempatan kerja. Hasil hutan merupakan komoditi yang dapat diubah menjadi hasil olahan dalam upaya mendapat nilai tambah serta membuka peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Upaya pengolahan hasil hutan tersebut tidak boleh mengakibatkan rusaknya hutan sebagai sumber bahan baku industri. Agar selalu terjaga keseimbangan antara kemampuan penyediaan bahan baku dengan industri
pengolahannya, maka pengaturan, pembinaan dan pengembangan industri pengolahan hulu hasil hutan diatur oleh menteri yang membidangi kehutanan. Pemanfaatan hutan tidak terbatas hanya produksi kayu dan hasil hutan bukan kayu, tetapi harus diperluas dengan pemanfaatan lainnya seperti plasma nutfah dan jasa lingkungan, sehingga manfaat hutan lebih optimal.

Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu praktek-praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat.
Sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintahan daerah, maka pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat nasional atau makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.

Mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat, maka dalam undang-undang ini hutan di Indonesia digolongkan ke dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, termasuk di dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan. Sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, seperti hak milik, hak guna usaha dan hak pakai.

Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Untuk mejaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan selain mengembalikan kualitas hutan juga meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga peranserta masyarakat merupakan inti keberhasilannya. Kesesuaian ketiga fungsi tersebut sangat dinamis dan yang paling penting adalah agar dalam pemanfaatannya harus tetap sinergi. Untuk menjaga kualitas lingkungan maka di dalam pemanfaatan hutan sejauh mungkin dihindari terjadinya konversi dari hutan alam yang masih produktif menjadi hutan tanaman.

Pemanfaatan hutan dilakukan dengan pemberian izin pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Disamping mempunyai hak memanfaatkan, pemegang izin harus bertanggung jawab atas segala macam gangguan terhadap hutan dan kawasan hutan yang dipercayakan kepadanya.

Dalam rangka pengembangan ekonomi rakyat yang berkeadilan, maka usaha kecil, menengah, dan koperasi mendapatkan kesempatan seluas-luasnya dalam pemanfaatan hutan. Badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan badan usaha milik swasta Indonesia (BUMS Indonesia) serta koperasi yang memperoleh izin usaha dibidang kehutanan, wajib bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat dan secara bertahap memberdayakannya untuk menjadi unit usaha koperasi yang tangguh, mandiri dan profesional sehingga setara dengan pelaku ekonomi lainnya.

Hasil pemanfaatan hutan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, merupakan bagian dari penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, dengan memperhatikan perimbangan pemanfaatannya untuk kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain kewajiban untuk membayar iuran, provisi maupun dana reboisasi, pemegang izin harus pula menyisihkan dana investasi untuk pengembangan sumber daya manusia, meliputi penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan; dan dana investasi pelestarian hutan.

Untuk menjamin status, fungsi, kondisi hutan dan kawasan hutan dilakukan upaya perlindungan hutan yaitu mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit. Termasuk dalam pengertian perlindungan hutan adalah mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan serta investasi dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumber daya manusia berkualitas bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan. Namun demikian dalam penyelenggaraan pengembangan sumber daya manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, wajib memperhatikan kearifan tradisional serta kondisi sosial budaya masyarakat.

Agar pelaksanaan pengurusan hutan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, maka pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan. Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung sehingga masyarakat dapat mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan.

Read More..

PEMBANGUNAN DAN PENINDASAN

Selasa, 15 April 2008

By. S. Djuweng
Salah seorang penduduk bumi yang paling bertanggungjawab terhadap invasi pembangunan adalah Hary S. Truman. Dalam pidato pelantikannya di hadapan Kongres Amerika 20 Januari 1928, Truman menyebut negara-negara selatan sebagai negara terbelakang (underdeveloped countries). Oleh karena itu tugas Amerika dan Eropah Barat adalah membawa pembangunan itu ke Selatan. Pidato Truman itu kemudian diperkuat dengan diumumkannya Dekade Pembangunan Tahun Pembangunan Internasional Pertama (1960-1970).

Usulan untuk tindakan nyata dari dekade itu menyebutkan, dunia ketiga tidak hanya membutuhkan pertumbuhan (ekonomi) tetapi pembangunan. Pembangunan adalah pertumbuhan ditambah perubahan. Perubahan, pada gilirannya adalah (perubahan) sosial, budaya, dan ekonomi baik yang bersifat kualitatif mau pun bersifat kuantitatif (Lihat Wolgang Sachs, The Anotomy of Development dan Global Ecology, A New Arena of Politial Conflict, yang dikutip S. Djuweng dalam Pembangunan dan Keadilan, Masihkan Relevan, Kompas 12 April 1996).Sejak itu, kata pembangunan menjadi jargon sakti yang menandai hubungan utara selatan. Pembangunan kemudian telah melahirkan semacam keyakinan baru yang menawarkan semacam mitos kesaktian: Kesejahteraan dunuia akan tercapai lewat perubahan sosial, budaya dan ekonomi yang disebut pembangunan.

Agaknya yang lupa dikatakan oleh Harry S. Truman adalah, kekayaan yang dinikmati oleh utara berasal dari hasil penindasan baik di selatan (di koloni-koloni) mau pun di utara itu sendiri. Bagi Belanda misalnya dari Tanaman Paksa 1830-1875 memberikan keuntungan sebesar 900 juta Florin (S. Djuweng, From Cultuur Stelsel to Pembangunan PIR Bun", Paper untuk Konferensi XI International NGO Forum on Indonesian Development, Bonn, 4-6 Mei 1998. Dia mengutip dari sumber-sumber sejarah yang mengupas Compulsory Cultivation jaman Daendeles dan Van den Bosch (1830-1875). Hasil tanaman paksa itu cukup untuk melunasi Hutan Negeri Belanda yang membiayai Perang Kemerdekaan Belgia dan Perang Jawa, Membangunan Jaringan Kereta Api, Meningkatkan Industri dan Perdagangan).

Di Amerika Utara, penduduk asli telah menjadi korban penindasan atas nama pembangunan dan industrialisasi. Begitu pula adanya di Australia dan Selandia Baru.Pada saat ini, penindasan dalam bentuk ketidakadilan ekonomi dan politik antara utara selatan masih saja terjadi. Di Bolivia, orang perlu menghabiskan 21 hari kerja untuk menukar sebuah jam buatan Swiss yang hanya dibuat dalam waktu 3 jam (Lihat Rudolf H. Starm, Kepincangan vs Kepincangan, Gramedia Jakata: 1984).

Gugatan terhadap pembangunan muncul dari berbagai kalangan inte-lektual, organisasi non pemerintah, dan masyarakat adat. Selama hampir 50 tahun setelah Truman mengintrodusir kata negara terbelakang dan negara maju, pembangunan telah memperkaya sekitar 20 % penduduk dunia, dan memiskinkan 80% lainnya. Negara-negara industri dan Industri Baru, mengalami pertambahan pendapatan sebesar 80% selama 4 dekade ter-akhir. Sebaliknya di negara-negara miskin, pendapat telah menurun sebesar 15 %.

Di Indonesia penindasan dan bahkan pembunuhan atas nama pembangunan berlangsung marak. Kasus-kasus di sekitar Free Port (Irian) misalnya adalah fakta yang berbicara untuk dirinya sendiri. Demikian pula proses peminggiran terhadap suku Dayak di Kalimantan. Kedatangan ekonomi yang kapitistik ke Kalimantan telah menggusur sumber-sumber perekonomian rakyat Prof. Dr. Mubyarto dalam pidato penutupan Seminar Perekonmian Rakyat Kalimantan, di Pontianak September 1991). Hal yang sama juga dialami oleh kelompok-kelompok masyarakat adat di Mentawai, Nias, Jambi, Riau, Krui, di Sulawesi, Maluku dan sebagainya. Dari fakta-fakta itu sulit untuk percaya dan memahami bahwa pembangunan akan mensejahterakan umat manusia.

Read More..

REPLEKSI PEMETAAN PARTISIPATIF

Tidak terasa sudah 13 (Tiga belas) tahun, sejak tahun 1995-2008 kegiatan pemetaan partisipatif berkarya di Kalimantan Barat. Sudah banyak hal yang terjadi, baik itu luasan wilayah-wilayah yang sudah dipetakan maupun respon masyarakat terhadap pemetaan dan kendala-kendala yang ditemui saat melakukan pemetaan serta pasca pemetaan atau upaya tindak lanjut masyarakat dari hasil pemetaan.

Kegiatan pemetaan partisipatif ini pada awalnya bertujuan untuk memberdayakan masyarakat adat yang lemah, miskin dan marginal. Harapannya untuk memberikan kekuatan hukum atas hak-hak tanah adat dan atas wilayah-wilayah hutan serta atas sumber-sumber daya yang telah dikelola oleh masyarakat secara tradisional. Kemudian dari hasil pemetaan partisipatif ini oleh masyarakat dapat digunakan sebagai alat komunikasi untuk kepentingan advokasi dan mempermudah pengelolaan sumber daya berkelanjutan yang berbasis masyarakat.

Kemudian, Undang-undang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga memberikan peluang bagi masyarakat melakukan pemetaan partisipatif, undang-undang ini mengakui peran aktif masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah. Sehingga kegiatan pemetaan tidak terlalu mengalami kendala dalam pelaksanaannya, bahkan sudah banyak lembaga-lembaga yang melaksanakan pemetaan partisipatif ini.

Namun dalam perjalanannya selama ini, lembaga-lembaga yang melaksanakan pemetaan partisipatif terkesan berjalan sendiri-sendiri. Jarang sekali ada koordinasi antar lembaga, bahkan untuk mengetahui luasan dan tempat wilayah-wilayah yang sudah dipetakanpun sulit. Kemudian wilayah-wilayah yang sudah dipetakan terkesan ditinggalkan dan tidak ada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sehingga hasil dari pemetaan terkesan berjalan ditempat dan tidak berbunyi ataupun berpengaruh bagi masyarakat yg wilayahnya sudah dipetakan.

Kegiatan seperti ini patut kita evaluasi apakah kegiatan-kegiatan yang dilakukan dahulu mempunyai dampak positif bagi masyarakat ? memang pasti ada segi positifnya, namun hal ini patut kita tingkatkan dan kalaupun ada segi negatifnya perlu di perbaiki untuk kegiatan-kegiatan selanjutnya.

Read More..